sisi lain khidupan pengemis ibukota

1315061485996927095
Ratapan Pak Sabri di Subuh Hari…..
Saya terbangun di waktu subuh setelah hari kemarin yang melelahkan, melangkahkan kaki dengan malas menuju kamar mandi…. belum tiba di kamar mandi saya melewati sebuah ruangan yang sejuk, yang dialasi karpet berwarna hijau daun, saya melihat pak sabri disitu bersimpuh…sedang berdo’a…
dengan jelas dapat saya dengan isi do’a-do’a beliau…
Ya Allah….ampuni dosaku…
ampuni segala kesalahanku…
tahun demi tahun telah hamba lewati dengan mecari belas kasihan orang lain…
hari demi hari aku lewati dengan berpura-pura….
detik demi detik hati ini selalu menangis karena harus mendustai istri tercinta ya allah…
hamba bukan orang baik….
hamba mengais rezeki bukan dengan jalan yang Engkau tunjukan…
sesungguhnya hamba malu pada diri sendiri, malu kepada istri, malu kepada anak-anak hamba…
namun apa daya ya Allah…asa sudah hilang, arang sudah patah, semangat sudah raib….
bertahun-tahun hamba meratapi nasib menjadi seorang pengemis…namun hamba bersyukur atas hasil yang hamba dapat….
ya Allah…..tunjukan jalan yang lurus jika memang pekerjaan hamba ini nista…
berikan jalan yang benar jika pekerjaan hamba ini hina ….
–terdengar isak tangis pak Sabri—-
ya Allah ..(sembari menangis)….hamba ini hina… hamba ini nista…hamba ini pemalas…hamba ini kotor ya Allah…
jangan Engkau biarkan hamba tenggelam dalam kenistaan pengemis ya Allah….
jangan Engkau benamkan semangat hidup hamba di jalanan terus menerus ….
hamba lelah ya Allah….
ingin hamba memiliki pekerjaan seperti lelaki lainnya …namun apa daya….hamba sudah renta ya Allah….
ya Allah bagaimana cara menyampaikan kepada istri hamba apa yang sebenarnya hamba lakukan selama ini…
hamba tidak kuasa melihatnya bersedih…..
tidak tega melihatnya kecewa….
tidak punya nyali melihatnya murka….
hamba begitu mencintainya…hingga mengemispun hamba lakukan demi melihatnya bahagia….
ya Allah…..bila sampai waktu hamba….mohon jaga istri hamba….sayangi dia dan kasihi dia ya Allah…..
juga kepada anak-anaku ya Allah, jauh dilubuk hati hamba….rindu kepada mereka….izinkanlah hamba untuk bertemu ya Allah….meski untuk kali terakhir…..
ya Allah —-tangis nya semakin menjadi —- …..
hamba takut bila hamba harus mati sebagai pengemis….
hamba gentar bila harus meninggalkan dunia ini sebagai lelaki nista…..
panjangkanlah umur hamba, agar hamba tidak mati dalam kekotoran….
sehatkanlah jasamani hamba agar hamba dapat merubah nasib….
Ya Allah…..Amiin…
—sayapun mengamini dalam hati—
Buru-buru saya pura-pura tidak tahu dan kembali ke kamar, setelah saya dengan pak Sabri menutup pintu kamarnya, baru saya beranikan diri ke kamar mandi, mandi kemudian mengambil air Wudhu dan shalat subuh di mushalla tersebut.
dalam do’a saya teringat do’a-do’a pak Sabri yang begitu dalam meratapi hidupnya yang penuh rahasia…dapat saya rasakan kepedihan hatinya, semua yang ia miliki ini adalah hasil mengemis, dan sepertinya dia tidak bisa menikmatinya tanpa harus meratapi jerih payahnya tersebut setiap pagi…. sepertinya tidak ada rasa bangga memiliki rumah bagus dan kendaraan pribadi….tak pernah tampak di wajahnya keceriaan….yang ada hanya lelah dan letih.
setelah shalat subuh saya terperanjat karena ibu Julaiha sudah menunggu saya di depan pintu mushalla…
“nak Jenal…mau ibu bikinkan kopi?” beliau bertanya….
“bo boleh bu kalau tidak merepotkan?” saya pun menjawab terbata, memang saya ingin sekali minum kopi pagi itu…setelah tidur yang sangat-sangat nyenyak saya rasa saya membutuhkan secangkir kopi panas.
“yuukk ikut ibu ke dapur…kita ngobrol-ngobrol sambil minum kopi di halaman belakang…” ibu Julaiha mengajak saya
“baik bu..” lalu saya mengikuti ibu Julaiha dari bekalang menuju dapur…dalam pikiran saya hanya ada secangkir kopi panas ….
Sambil mengaduk kopi dalam cangkir….ibu Julaiha bertanya pada saya
“Nak Jenal tadi sedang apa? kok tertegun lama sekali di pintu musholla?” duaaarr..hati saya seperti pecahhh di sambar petir …
“duuhhh ketahuan …saya menguping si bapak” dalam hati saya bergumam….
“nak Jenal ….kita duduk di bangku taman belakang yuuk…ada yang ingin ibu bicarakan…” beliau mengajak saya lagi…
“mari buu….” saya menjawab sembari mengikutinya ke taman belakang….
taman belakang rumah ini tidak begitu luas, ada sebuah kolam ikan menempel dengan tembok pembatas dan dihiasi berbagai macam tanaman hias…bunga-bungaan dalam pot pun ada… di sudut taman terdapat sebuah pohon rambutan yang cukup rindang yang dapat menaungi di siang hari…wah sungguh taman mungil yang bagus.
“mari duduk nak Jenal…” ibu Julaiha mempersilahkan..
“terima kasih bu…” saya menjawab….
“nah mari kopinya …..” beliau menyuguhkan pada saya…
“terima kasih bu…, waahh pasti mantap nih kopinya…” saya menjawab sambil tersenyum.
“nak Jenal…tadi dengar do’a bapak ? ” ibu Julaiha langsung menembak….
“ii iiyya buu saya dengar …” saya tertunduk…
“ndak apa-apa….ibu juga mendengarnya hampir setiap pagi….” wah ibu ternyata tau pekerjaan si bapak ….wah dua-duanya bermain sandiwara …si bapak tidak jujur, si ibu pura-pura tidak tahu….klop kalau begini….tinggal tunggu bom waktu meledak saja batin saya.
“jadi ibu tahu selama ini apa pekerjaan bapak?” saya pun langsung menembaknya..
“iya nak Jenal…..ibu tau, tapi ibu diam saja, karena ibu tahu bapak tidak ingin melihat ibu bersedih….ibu pura-pura tidak tahu selama ini karena ibu juga tidak ingin melihat bapak bingung harus bagaimana membina rumah tangga….” si ibu terdiam……
“awalnya ibu sangat-sangat maluuu nak Jenal…tapi mau bagaimana lagi…bapak sudah terlanjur jadi pengemis, dan ibu sudah sangat menikmati kehidupan yang sekarang….terkadang kalau bapak lagi mengemis ibu suka menangiiss meratapi si bapak…kasihan diaa ” si ibu mulai terisak….
saya tidak dapat berbuat banyak, jadi saya cuma bisa berkata…
“sudah buu jangan dipikirkan…..bapak juga sudah cukup lelah berkeliling Jakarta minta belas kasihan..” saya berusaha menenangkan.
“iya Nak Jenal, ibu pikir bapak pasti lelah sekali,, seharian berjalan kaki mengais-ngais belas ka………” ucapan ibu Julaiha terhenti……
Bersambung…….
0 Responses